SESUAIKAN DIRI ANDA DENGAN KADAR SESUATU YANG TERSIMPAN DALAM JATIDIRI ANDA Home
TI Punya
Lain-lain

Jumat, 01 Juli 2011

Kini, Berbohongkah Andi Nurpati?

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, melayani pertanyaan wartawan saat menunggu rapat dengar pendapat dengan Panitia Kerja Mafia Pemilu Komisi II di Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2011).

KOMPAS.com — Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD melaporkan Ketua DPP Partai Demokrat Andi Nurpati ke polisi. Tuduhannya serius. Mahfud menuding Andi melakukan pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa pemilu 2009 di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat palsu itu memenangkan anggota DPR dari Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo.

Mengapa Andi Nurpati tidak memakai Surat MK Nomor 112 tertanggal 17 Agustus yang sudah diterimanya sendiri?

Mengetahui ada yang tidak beres, MK mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa surat yang menjadi dasar putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut adalah surat palsu dan menyerahkan kursi DPR kepada yang berhak, yaitu Mestariyani Habie dari Partai Gerakan Indonesia Raya.

Di hadapan Panitia Kerja Mafia Pemilu Komisi II DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (21/6/2011), Mahfud memaparkan hasil tim investigasi MK. Awalnya, tutur Mahfud, MK mengirimkan dua surat bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 dan 113/PAN.MK/VIII/2009 kepada KPU pada 17 Agustus 2009. Surat diantar ke kantor KPU oleh juru panggil MK, Masyhuri Hasan, dan panitera pengganti MK, Nalom Kurniawan.

Karena tidak menemukan Andi di sana dan tidak ada komisioner KPU yang lain, mereka melapor kepada panitera MK, Zainal Arifin, melalui telepon. Zainal menelepon Andi dan mendapat petunjuk dari Andi untuk mengantarkan surat ke Studio JakTV karena Andi ada acara di sana. Atas petunjuk Zainal, Hasan dan Nalom meluncur ke Studio JakTV. Di sana keduanya bertemu dengan Andi dan menyerahkan kedua surat tersebut.

"Surat diantar atas permintaan Andi Nurpati. Setelah menerima langsung surat itu dan mengetahui isi surat tersebut, Andi meminta agar surat diserahkan kepada sopirnya bernama Aryo. Aryo yang kemudian menandatangani tanda terima (berita acara penyampaian surat) kedua surat itu," ungkap Mahfud.

Selanjutnya, pada 2 September 2009, lanjut Mahfud, KPU mengadakan rapat pleno dan mengeluarkan keputusan KPU Nomor 379/Kpts/KPU/2009 berdasarkan Surat MK bernomor 113 tertanggal 17 Agustus 2009. Sementara, keputusan berikutnya yang memberikan perolehan kursi Dapil 1 Sulsel kepada Dewi Yasin Limpo justru memakai Surat MK Nomor 112 bertanggal 14 Agustus 2009 yang diperoleh dari faksimile.

"Rapat pengambilan keputusan KPU saat itu dipimpin Andi Nurpati. Menurut pengakuan Andi Nurpati, Surat MK Nomor 112 tertanggal 14 Agustus diterima melalui faksimile. Adapun Surat MK Nomor 112 tanggal 17 Agustus tidak digunakan dengan alasan tidak distempel," tutur Mahfud.

Mahfud membantah keras MK mengirim surat melalui faksimile seperti yang diakui Andi. Apalagi, menurut Mahfud, informasi dari PT Telkom Kebon Sirih, nomor faksimile4 surat itu, 021-3800239, tidak aktif sejak Juli 2009, satu bulan sebelum pengiriman faksimile Surat MK Nomor 112 tanggal 14 Agustus 2009.

"Mengapa Andi Nurpati tidak memakai Surat MK Nomor 112 tertanggal 17 Agustus yang sudah diterimanya sendiri? Jika memang tidak ada stempel pada surat itu, mengapa surat yang 113 berstempel padahal dibuat bersamaan? Jika tidak berstempel, kenapa tidak dipertanyakan kepada MK, ada surat tidak berstempel dan justru menggunakan surat lain yang berasal dari faksimile?" ujar Mahfud saat itu.

Andi membantah

Andi Nurpati membantah uraian Mahfud. Di hadapan Panja Mafia Pemilu, Kamis (30/6/2011) malam, dengan tenang Andi menuturkan kronologis surat berdasarkan versinya. Menurutnya, pada tanggal 17 Agustus 2009, ia tidak menerima telepon dari Zainal Arifin, melainkan Masyhuri Hasan. Hasan, lanjutnya, menyatakan akan memberikan surat kepadanya.

"Dia (Hasan) tidak bilang surat apa, hanya bilang surat dari MK. Saya katakan, kenapa tidak dibawa saja ke kantor KPU. Dia (Hasan) mengatakan tidak ada yang bisa ditemui di KPU," ujar Andi.

Hasan, lanjut Andi, kemudian datang menemuinya seorang diri (tanpa Nalom) di Gedung JakTV. Andi mengaku tidak melihat surat-surat yang dibawa Hasan dan menyuruhnya diberikan kepada sopirnya, Hary Almavintomo alias Aryo.

"Saya saat itu harus live di TV jadi tidak bisa menerimanya dan saya katakan harusnya dibawa ke kantor KPU. Tapi, jika sopir saya berkenan, silakan bisa titip ke sopir saya," tutur Andi menirukan saat ia berbicara dengan Hasan.

Keterangan Andi bertentangan dengan penuturan Nalom. Di hadapan Panja, Nalom yang dikonfrontasi bersama Andi menyatakan, ia bertemu dengan Andi. Hasan memperkenalkannya dengan Andi.

"Saya waktu itu datang dengan Hasan. Hasan duduk di sofa dengan Ibu Andi Nurpati. Hasan menyerahkan map yang kemudian dibuka oleh Ibu Andi. Lalu, Ibu Andi bilang, kalau (putusan MK) dikabulkan, kenapa (Dewi Yasin Limpo) tidak menang? Saat itu Hasan juga memperkenalkan saya kepada Andi Nurpati. Saya berdiri tepat di depan sofa itu. Kemudian saya pulang duluan karena Mas Hasan belum mau pulang, ia katakan dijemput adiknya. Jadi, saya pulang duluan," ujar Nalom.

Dengan wajah dingin, Andi kekeuh hanya bertemu Hasan saat itu. Ia juga mengaku tidak membuka surat yang dibawa Hasan. "Saya tidak kenal Nalom dan tidak pernah bertemu dengan Nalom. Saya bertemu Hasan waktu itu berdiri, tidak duduk di sofa, dan Hasan hanya sendirian. Saya belum melihat isi surat dan berapa surat yang dibawa," tegasnya.

Andi, sopir, dan staf KPU

Andi tidak hanya membantah keterangan staf MK. Ia juga membantah keterangan mantan sopir pribadinya, Aryo, dan mantan staf pribadinya di KPU, Matnur. Andi membantah telah memerintahkan Aryo untuk memberikan surat putusan Mahkamah Konstitusi kepada Matnur. Surat bernomor 112/PAN.MK/VIII/2009 dan 113/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dibawa Hasan, menurut pengakuan Andi, ditolaknya sehingga belum sempat ia melihat isi surat. Ia meminta surat itu diberikan kepada Aryo.

Menurutnya, saat Aryo menerima surat dari Hasan, ia segera memerintahkan Aryo agar memberikan surat itu kepada staf Ketua KPU. Ia mengaku sama sekali tidak melihat bentuk surat itu ataupun isinya.

"Saya katakan kepada sopir saya (Aryo) saat di mobil, agar diberikan kepada staf pimpinan karena, katanya, waktu di mobil surat itu ditujukan kepada ketua. Jadi ketika dia tanyakan, saya bilang serahkan kepada ketua. Ternyata dia serahkan ke Matnur. Saya tidak tahu itu," ujar Andi di depan Panja.

Aryo sendiri mengaku memang dititipkan surat oleh seseorang bernama Hasan dari MK. Ia sempat menolak tapi tetap diberikan. Sebelumnya, Aryo sempat melihat Hasan masuk ke JakTV dan kemungkinan memang bertemu Andi. Ia menyatakan bahwa Andi menyuruhnya memberikan kepada staf Andi, Matnur.

"Saya akhirnya tanda tangan tanda terimanya. Kemudian saya sampaikan kepada Ibu, ada surat dari MK. Saya disuruh simpan suratnya di jok depan dan besok diserahkan kepada Saudara Matnur," ujar Aryo ketika ditanya kembali oleh Panja mengenai pernyataan Andi.

Sementara itu, dalam pengakuan Matnur, setelah mendapat surat dari Aryo atas perintah Andi, ia kemudian menanyakan kepada Andi bagaimana dengan surat-surat MK yang dibawa Aryo. Andi justru memintanya memberikan Surat MK Nomor 113 kepada Ketua KPU, sedangkan surat bernomor 112, Andi minta kepadanya untuk disimpan saja.

"Saya menyerahkan dua surat (dari Aryo), saya tidak tahu tanggapan Ibu (Andi Nurpati) apa. Tapi, saya diperintahkan Ibu agar surat 113 diberikan kepada Ketua KPU dan 112 disimpan. Sugiarto (teman Matnur) tahu bahwa saya menyerahkan 113 kepada Pak Ketua, 112 ini disimpan atas perintah Ibu," tutur Matnur.

Lagi-lagi Andi membantah keterangan Matnur. Ia bersikeras tidak memerintahkan demikian kepada Matnur. "Saya tidak pernah memerintahkan, memproses, menyimpan kedua surat. Setahu saya surat itu sudah diproses karena saya minta Aryo menyerahkan kepada staf pimpinan. Saya tidak pernah terima surat dari Matnur. Saya tidak mungkin menyuruhnya menyimpan, harusnya diproses," kilah Andi.

Perdebatan ini berlangsung beberapa menit. baik Aryo maupun Matnur tetap membantah pernyataan Andi. Mereka bersikukuh, Andilah yang memerintahkan mereka. Ketika seorang anggota panja menanyakan apakah keduanya memiliki kepentingan dengan dua surat tersebut, Aryo dan Matnur mengaku tidak sama sekali. Matnur menyatakan tidak mengenal Dewi Yasin Limpo sehingga tidak ada kepentingan untuknya menggelapkan atau mengubah putusan MK itu.

Sayang sekali Hasan tidak hadir malam itu. Ia tidak memenuhi panggilan panja. Namanya selalu disebut di setiap jejak peristiwa surat MK. Hasan merupakan saksi kunci. Polisi telah menetapkannya sebagai tersangka.

Tidak ada komentar: